Beranda | Artikel
Syahwat Tak Tertahankan, Bolehkan Sengaja Safar Kemudian Jima Dengan Istri Di Siang Hari Ramadhan?
Senin, 15 Juli 2013

Bisa jadi seorang laki-laki syahwatnya memuncak dan tidak tertahankan ketika ada pemacunya. Apalagi di zaman sekarang ini dengan fitnah wanita yang tidak terbendung lagi. Bagi sebagian laki-laki, jika tidak terpenuhi ia akan tidak konsentrasi, pikiran jumud dan susah untuk berpikir. Maka seorang laki-laki yang sudah mempunyai istri dianjurkan segera mendatangi istri untuk membuatnya lega dan mendapat pahal akarena menunaikannya pada tempat yang halal.

Ini telah dicontohkan oleh suri tauladan kita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ketika melintas wanita di hadapan beliau, beliau langsung mendatangi salah satu istri beliau.

sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radiallaahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau shallallahu ’alaihi wasallam lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu). Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda,

إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” [1]

 

Akan teta[i bagaimana jika ini terjadi di siang bulan Ramadhan? Ada orang yang sengaja bersafar perjalanan satu atau dua jam, kemudian ia berbuka karena mendapat keringanan dan menunaikan hajatnya kepada istrinya. Bagaimana hukumnya?

Dalam Fatwa Syabakah islamiyah dijelaskan,

وأما إن كان المقصود أنه لم يسافر إلا لأجل أن يتمكن من جماع أهله فقد نص الفقهاء على أنه يحرم على الإنسان أن يسافر لأجل أن يفطر لأن هذه حيلة على إسقاط الواجب، والقاعدة عند العلماء أن الحيلة لا تسقط واجبا ولا تبيح محرما، ومقتضى هذه القاعدة أنه لا يجوز السفر لأجل أن يتمكن من الجماع ويجب عليه الصوم وإن جامع لزمته الكفارة ولا كفارة على زوجته في هذه الحالة لكونها مكرهة.

Adapun jika bermaksud (sengaja) bersafar agar bisa berjima’ dengan istrinya (di siang hari Ramadhan) maka ulama menegaskan haram bagi seseorang untuk sengaja bersafar karena untuk sekedar ingin berbuka. Karena ini adalah hiilah (tipu daya) untuk menggugurkan kewajiban. Kaidah menurut ulama bahwa hiilah tidak bisa menggugurkan kewajiban dan tidak bisa membolehkan yang haram. Konsekuensi dari kaidah ini, tidak boleh sengaja bersafar karena ingin berjima’ dengan istrinya, jika ia berjima’ maka wajib baginya kafarah dan tidak ada kafarah bagi istrinya dalam keadaan ini yaitu dipaksa.[2]

 

Bahkan ada pendapat ekstrim yaitu jika terpaksa sekalidan sudah tidak tahan maka ia boleh mendatangi istrinya dan tidak mendapat hukuman kafarah. Ini pendapat yang salah.

Pertanyaan diajukan kepada syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,

س: الأخ ع. س. م. من الدمام يقول في سؤاله: كنا في مجلس مع بعض الإخوة وكان الحديث حول الصيام ومفسداته، فقال أحد الإخوة إنه سمع آخر يقول إن الإنسان لو اضطر لجماع زوجته وهو صائم في نهار رمضان فقام بالإفطار قبل ذلك على أكل أو شرب فإنه يسلم من الكفارة المترتبة على الذي يجامع في نهار رمضان. فهل ما قاله هذا الأخ صحيح؟ نرجو الإفادة

Saudara dengan inisial GSM dari Dammam bertanya: kami berada pada sebuah majlis bersama sebagian ikhwah kami berbincang-bincang mengenai puasa. Salah seorang berkata bahwa jika seseorang sangat ini berjima’ dengan istrinya sedangkan ia berpuasa di siang hari Ramadhan. Maka ia hendaknya berbuka, makan dan minum. Ia akan terbebas dari hukuman kafarah berjima’ di siang hari Ramadhan. Apakah perkataan ini benar?

 

ج: هذا كلام باطل وليس بصحيح، والواجب على المسلم الحذر من الجماع في رمضان إذا كان مقيما صحيحا وهكذا المرأة إذا كانت مقيمة صحيحة. أما المسافر فلا حرج عليه في جماع زوجته المسافرة، وهكذا المريض مع المريضة إذا كان يشق عليهما الصوم. والله ولي التوفيق.

Beliau menjawab:

Ini adalah perkataan yang batil dan tidak benar. Wajib bagi seorang muslim menjauhi berjima’ di siang hari ramadhan jika ia sehat dan bermukim. Demikian juga istrinya jika sehat dan bermukim. Adapun musafir maka tidak mengapa ia berjima’ dengan istrinya yang bersafar juga. Demikian juga orang yang sakit dengan istri yang sakit juga, jika berat bagi mereka berpuasa. Allahu waliyyut taufiq.[3]

 

Semoga bermanfaat

 

@Suzuki service center, 6 Ramadhan 1434 H

Penyusun:  Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 

 


[1] HR. Muslim

[2] Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=115712

 

[3] Majmu’ fatawa bin Baz 15/308, syamilah


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/syahwat-tak-tertahankan-bolehkan-sengaja-safar-kemudian-jima-dengan-istri-di-siang-hari-ramadhan.html